Lamaran Pria Sidoarjo Ditolak Gara-gara Rombongan Terlalu Banyak
Sidoarjo, 22 Juni 2025 – Sebuah kisah menyentuh hati datang dari Wahyu Hidayat, seorang pria berusia 37 tahun asal Desa Krembangan, Sidoarjo. Rencana lamaran yang telah dipersiapkan dengan matang berakhir dengan penolakan yang mengejutkan, hanya karena jumlah tamu yang berlebihan. Kejadian ini pun viral di media sosial, menarik perhatian publik.
Wahyu telah melakukan banyak persiapan untuk melamar kekasihnya yang merupakan seorang guru PAUD berusia 27 tahun. Selama lima bulan berkenalan, ia menyiapkan berbagai atribut seperti cincin, kalung, baju, sepatu, dan handphone dengan total biaya mencapai belasan juta rupiah. Lamaran diadakan di rumah keluarga calon mempelai wanita di kawasan Warugunung, Surabaya.
Namun, pada hari lamaran, Wahyu dan rombongan tamunya, yang semula disepakati tidak lebih dari 25 orang, membengkak menjadi sekitar 40 orang karena antusiasme keluarga dan kerabat. “Semua yang datang adalah keluarga dan teman dekat. Saya tidak menyangka ini menjadi masalah besar,” kata Wahyu dengan nada kecewa saat ditemui oleh DetikJatim.
Usai acara, Wahyu mendapatkan kabar mengejutkan. Ia dipanggil dan diberitahu bahwa lamaran tersebut dibatalkan lantaran jumlah tamu yang terlalu banyak. “Mereka hanya bilang, ‘Batal saja lamarannya.’ Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” ungkapnya.
Lebih mengecewakan lagi, keluarga Wahyu mengetahui pembatalan tersebut bukan dari pihak wanita, melainkan dari media sosial. “Keluarga saya tahunya malah dari TikTok. Mereka sangat kecewa karena mengira semua berjalan baik,” tambah Wahyu.
Kisah ini mengungkap betapa faktor-faktor sosial seperti jumlah tamu bisa berpengaruh besar dalam proses melamar. Dalam budaya masyarakat Indonesia, mengundang kerabat dalam acara penting seperti lamaran sering kali diartikan sebagai tanda penghormatan. Namun, kenyataan ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, terutama di kalangan generasi muda yang mungkin lebih mempertimbangkan aspek emosional daripada tradisi.
Wahyu tidak dapat melakukan apa-apa setelah kejadian tersebut. Ia mengatakan, “Saya cuma bisa pasrah. Yang penting niat saya sudah baik. Tapi jika ditolak hanya karena tamu kebanyakan, saya tidak bisa memaksakan hati orang lain.” Setelah kejadian itu, hubungan mereka berakhir, dan Wahyu mengaku belum mendapatkan kabar dari mantan calon istrinya.
Kisah ini mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak pasangan muda dalam menyeimbangkan antara tradisi dan kenyataan modern. Dalam konteks yang lebih luas, peristiwa ini juga berpotensi menjadi bahan refleksi bagi keluarga di Indonesia mengenai ekspektasi dalam acara-acara penting serta pentingnya komunikasi yang jelas untuk menghindari kesalahpahaman.
Pengalaman Wahyu bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang, bahwa niatan baik dalam sebuah hubungan tidak hanya ditentukan oleh persiapan atau hadiah, tetapi juga oleh pengertian dan komunikasi antara kedua belah pihak. Kejadian ini mengajak kita untuk mendalami lebih dalam tentang nilai-nilai yang mendasari sebuah keluarga di tengah perubahan zaman.