Rusia Cabut Moratorium Pengerahan Rudal Jarak Pendek dan Menengah
Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan bahwa negara tersebut tidak lagi terikat oleh moratorium penempatan rudal jarak pendek dan menengah. Pernyataan ini disampaikan pada Senin, 4 Agustus 2023, seiring dengan meningkatnya ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat (AS) serta Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menjelaskan bahwa langkah ini diambil sebagai respons terhadap apa yang disebutnya sebagai “tindakan destabilisasi” yang dilakukan AS dan NATO. Lavrov menegaskan bahwa kondisi yang mendasari moratorium sepihak tersebut telah hilang, terutama berkaitan dengan pengerahan rudal jarak menengah dan pendek yang diproduksi AS di Eropa dan Asia-Pasifik.
Sebelumnya, Rusia menyatakan akan menahan diri dari pengerahan senjata semacam itu, dengan syarat Washington juga tidak melakukannya. Namun, dengan menarik diri dari Perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) pada 2019, AS memberi sinyal bahwa mereka akan melanjutkan program rudal mereka.
Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia yang kini menjabat sebagai Wakil Kepala Dewan Keamanan, menyalahkan negara-negara NATO atas keputusan Rusia untuk mencabut moratorium tersebut. Dalam cuitan di media sosial, Medvedev menyatakan bahwa ini adalah hasil dari kebijakan anti-Rusia yang diterapkan oleh NATO dan menegaskan bahwa Rusia akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut sebagai respons terhadap situasi yang berkembang.
Medvedev juga mempertahankan argumen bahwa semua pihak yang berseberangan dengan Rusia harus siap menghadapi kenyataan baru ini. “Nantikan langkah-langkah selanjutnya,” katanya, meskipun tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai tindakan yang akan diambil.
Perjanjian INF, yang ditandatangani pada tahun 1987 oleh pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan Presiden AS Ronald Reagan, mengatur pembatasan penempatan rudal dengan jangkauan antara 500 hingga 5.500 kilometer. Pencabutan moratorium ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya ketegangan militer di kawasan Eropa dan Asia-Pasifik, di mana AS dan sekutunya berpeluang mengerahkan rudal baru setelah bertahun-tahun berupaya untuk membatasi penyebaran senjata berbahaya ini.
Dengan situasi yang semakin memanas, refleksi terhadap kebijakan pertahanan dan diplomasi internasional menjadi semakin mendesak. Ini mencerminkan dinamika global yang sulit dan kompleks, di mana dialog dan negosiasi menjadi jalan yang sulit namun diperlukan untuk mencegah eskalasi konflik lebih jauh.
Dalam konteks ini, langkah-langkah strategis dari berbagai negara, termasuk Rusia, AS, dan negara-negara NATO, akan sangat diperhatikan oleh komunitas internasional. Ketegangan baik di tingkat bilateral maupun multilateral akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah kebijakan keamanan global ke depan.