Internasional

Krisis Lapangan Kerja Muda di Asia: Lulusan Perguruan Tinggi Terjebak di Sektor Informal

Avatar photo
11
×

Krisis Lapangan Kerja Muda di Asia: Lulusan Perguruan Tinggi Terjebak di Sektor Informal

Sebarkan artikel ini

Krisis Lapangan Kerja di Kalangan Pemuda: Tantangan dan Realitas di Asia

Krisis lapangan kerja yang semakin mengkhawatirkan terjadi di kalangan pemuda di Asia, termasuk Indonesia, sejak awal 2025. Data menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi, justru banyak yang menganggur atau terpaksa bekerja di sektor informal yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.

Menurut laporan dari The Organisation for World Peace, jutaan lulusan universitas di Tiongkok menghadapi tantangan berat dalam menemukan pekerjaan yang layak. Pada Februari 2025, tingkat pengangguran di kalangan pemuda usia 16 hingga 24 tahun mencapai 16,9 persen di wilayah perkotaan—angka tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun terjadi penurunan menjadi 14,9 persen pada bulan Mei, pola ini diperkirakan akan kembali meningkat seiring dengan kelulusan 12,2 juta mahasiswa pada musim panas ini. Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakcocokan antara pendidikan tinggi dan kebutuhan pasar kerja.

Banyak lulusan yang merasakan frustrasi, terpaksa menerima pekerjaan dengan gaji rendah, atau pekerjaan yang tidak relevan dengan jurusan mereka. Pemerintah Tiongkok telah mengeluarkan berbagai subsidi dan insentif untuk perusahaan yang mempekerjakan lulusan baru, namun dampaknya belum signifikan. Salah satu mahasiswa, Sun (21), dari Central University of Finance and Economics di Beijing, mengungkapkan optimisme meski menyadari tantangan yang ada. Ia menyebut bahwa banyak rekan sejurusnya memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister, karena gelar tersebut kini dipandang sebagai syarat minimum untuk melamar kerja.

Laporan dari Washington Post juga menyoroti inflasi nilai pendidikan tinggi, di mana gelar magister menjadi “standar dasar” untuk posisi awal di banyak perusahaan. Zhang (24), lulusan Central Academy of Drama, terpaksa melanjutkan studi ke jenjang doktor karena kesulitan menemukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya di bidang seni drama. Ia memilih untuk menghindari pekerjaan kantoran dengan jam kerja tetap, berusaha keluar dari tekanan tersebut melalui pendidikan.

Di sisi lain, Daniel (21) dari Guangzhou memilih jalur kewirausahaan setelah merasa tidak cukup mampu bersaing di industri teknologi. Ia mendirikan perusahaan perdagangan elektronik dengan modal dari orang tuanya, dengan mengatakan, “Universitas tidak akan mengajarkanmu cara cari uang.” Namun, tidak semua lulusan seberuntung Daniel. Di kota-kota dengan ekonomi lemah seperti Harbin, lulusan Han (25) harus menunggu lebih dari setahun untuk mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan jurusannya.

Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Menurut The Independent Singapore, sejumlah pemuda di Tanah Air menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah Tarismaul “Aris” Pinki (24), lulusan sekolah menengah atas dari Yogyakarta, yang kini bekerja sebagai tukang bangunan. Meskipun merupakan pekerjaan berat di bawah terik matahari, Aris mengaku lebih memilihnya karena penghasilannya lebih tinggi dibandingkan pekerjaan kantoran. Ia mengatakan, “Kalau kerja lembur maksimal, saya bisa dapat Rp3 juta dalam dua minggu.”

Aris mewakili kondisi sektor tenaga kerja informal di Indonesia, yang menyerap sekitar 60 persen angkatan kerja. Data tahun 2023 menunjukkan hampir 10 juta pemuda Indonesia (usia 15-24 tahun) tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak menjalani pelatihan, mencerminkan lebih dari setengah total pengangguran nasional. Asep Suryahadi dari SMERU Research Institute memperingatkan bahwa tren ini memiliki dampak jangka panjang terhadap produktivitas.

Tantangan ini tidak hanya terjadi di Indonesia dan Tiongkok, tetapi juga di India, di mana tingkat pengangguran pemuda mencapai 45,4 persen pada 2023. Banyak lulusan perguruan tinggi di negara tersebut tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri, terutama di sektor energi terbarukan dan teknologi finansial.

Meskipun pemerintah di berbagai negara Asia telah meluncurkan inisiatif untuk mengatasi masalah ini, seperti program magang dan dukungan kewirausahaan, upaya ini belum cukup untuk mengatasi laju pengangguran yang mengkhawatirkan. Sementara itu, pemuda seperti Aris, Daniel, Han, dan jutaan lainnya terus berjuang di pasar kerja yang sempit dan tidak menentu. Tanpa adanya perubahan sistemik yang signifikan, jutaan lulusan berisiko terjebak dalam pekerjaan yang jauh dari harapan mereka.