Berita

Sebuah Polemik Fatwa Haram: Menggugah Dialog Antara Ulama dan Pengusaha Sound Horeg

Avatar photo
42
×

Sebuah Polemik Fatwa Haram: Menggugah Dialog Antara Ulama dan Pengusaha Sound Horeg

Sebarkan artikel ini

Fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Blitar terhadap sound horeg telah memicu gelombang protes dan diskusi di kalangan masyarakat. Muzahidin, yang akrab disapa Mas Bre, pemilik Brewog Audio, mengungkapkan keprihatinannya terhadap keputusan ini. Ia menilai fatwa yang dikeluarkan terlalu tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan konteks yang lebih dalam tentang fenomena sound horeg.

Dalam sebuah wawancara, Mas Bre menyatakan harapannya agar ulama dan pengusaha sound horeg dapat melakukan dialog konstruktif. “Kami ingin tahu titik mana yang dianggap haram oleh MUI, karena sound itu sendiri adalah alat, bukan makanan. Ini adalah bagian dari jasa yang menjadi mata pencaharian kami,” ujar Mas Bre pada Kamis (10/7/2025). Ia menegaskan pentingnya memahami bahwa sound horeg tidak sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari kehidupan ekonomi masyarakat.

Mas Bre tidak sepakat dengan penilaian MUI yang menilai sound horeg sebagai kegiatan yang melanggar norma agama. Ia meminta agar MUI memberikan penjelasan lebih rinci mengenai alasan di balik fatwa haram tersebut. “Mungkin yang dimaksud haram adalah penampilan dancer yang berpakaian seksi, tetapi banyak dancer saat ini yang berbusana sopan,” tambahnya.

Kekhawatiran Mas Bre mencerminkan sentimen yang lebih luas di masyarakat. Sound horeg, yang selama ini menjadi bagian dari budaya lokal, sering kali diadakan dalam acara-acara desa dan dianggap sebagai bentuk hiburan yang merangkul komunitas. Masyarakat bahkan rela urunan untuk menyewa sound horeg demi menciptakan suasana meriah dalam perayaan.

Namun, MUI Kabupaten Blitar memiliki pandangan tegas. Mereka menyatakan bahwa sound horeg yang menyerupai diskotik, lengkap dengan tari-tarian erotis dan minuman keras, jelas melanggar ajaran Islam. Jamil Mashadi, Humas MUI Kabupaten Blitar, menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan fasik yang jauh dari ketaatan kepada Allah SWT.

“Ulama tidak mengharamkan sound system secara umum; yang diharamkan adalah sound horeg yang disertai dengan perilaku menyimpang seperti tarian erotis di ruang publik,” jelasnya.

Polemik ini membuka ruang bagi dialog yang lebih luas antara pihak-pihak yang terlibat. Mas Bre berharap agar MUI dapat memberikan saran konstruktif untuk mengatur gelaran sound horeg tanpa harus mengeluarkan fatwa haram yang bisa mengganggu mata pencaharian banyak orang. “Untuk hal-hal yang lebih kontroversial seperti miras, mungkin bisa diberikan imbauan, bukan langsung diharamkan,” pungkasnya.

Dengan adanya perbedaan pandangan ini, penting bagi semua pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi yang saling menguntungkan. Dialog terbuka antara ulama dan pengusaha sound horeg dapat menjadi langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan ini secara bijak.

Mari kita nantikan bagaimana perkembangan selanjutnya dari polemik ini, yang tidak hanya menyentuh aspek keagamaan, tetapi juga kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Blitar.