Internasional

Warisan Konflik di Timur Tengah dari Perjanjian Sykes-Picot

Avatar photo
0
×

Warisan Konflik di Timur Tengah dari Perjanjian Sykes-Picot

Sebarkan artikel ini

Perjanjian Sykes-Picot: Jejak Kontradiktif di Timur Tengah

Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani antara Inggris dan Prancis lebih dari seratus tahun yang lalu masih menjadi sumber pembicaraan bersejarah terkait ketegangan di Timur Tengah. Banyak kalangan percaya bahwa perjanjian ini telah menanam benih perpecahan yang terus bergulir hingga saat ini.

Perjanjian yang disepakati di tengah Perang Dunia I ini, dilakukan secara rahasia pada tahun 1916, membagi wilayah Arab yang sebelumnya dikuasai Kekaisaran Ottoman menjadi zona pengaruh kedua negara. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Inggris menguasai wilayah yang kini dikenal sebagai Irak, sementara Prancis mendapatkan wilayah Suriah dan Lebanon. Pembagian ini dilakukan tanpa memperhitungkan kepentingan dan aspirasi rakyat setempat, yang kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan.

Sejarah mencatat, Perjanjian Sykes-Picot merupakan langkah strategis yang diambil oleh kedua negara untuk memperluas pengaruhnya di kawasan yang kaya akan sumber daya alam. Namun, keputusan ini menuai kritik tajam karena dianggap mengabaikan hak-hak bangsa Arab untuk menentukan nasib sendiri. Dalam pandangan banyak sejarawan, ketidakadilan ini menjadi fondasi bagi banyak konflik yang terjadi di Timur Tengah di dekade-dekade setelahnya.

Berbagai ahli sejarah menjelaskan bahwa setelah pembagian wilayah, muncul berbagai gerakan nasionalis di kalangan masyarakat Arab. Masyarakat yang merasa dikhianati oleh penguasa kolonial mulai menuntut penentuan nasib sendiri, sehingga memicu ketegangan antara berbagai kelompok etnis dan agama. Misalnya, ketegangan antara Sunni dan Syiah di Irak, serta konflik antara Arab dan Kurdi, sering kali dikaitkan dengan warisan dari perjanjian ini.

Prof. Ahmad Rahman, seorang sejarawan dari Universitas Jakarta, menekankan bahwa “Perjanjian Sykes-Picot tidak hanya mempengaruhi geografi politik di Timur Tengah, tetapi juga melahirkan identitas-identity baru yang sering kali bertentangan satu sama lain.” Beliau menambahkan bahwa warisan kolonial ini memperparah kondisi sosial-politik di kawasan tersebut, dengan banyak negara yang menghadapi tantangan dalam membangun persatuan dan stabilitas.

Di tengah dinamika politik saat ini, penting bagi masyarakat untuk memahami dampak sejarah dari perjanjian ini. Dalam konteks modern, konflik yang sering terjadi di Timur Tengah, seperti perang di Suriah dan ketegangan di Yaman, sebagian merupakan hasil dari potensi yang ditimbulkan oleh pembagian wilayah yang tidak adil. Banyak negara di kawasan masih berjuang untuk menyatukan berbagai kelompok yang terbagi oleh garis batas yang ditetapkan oleh kolonialisme.

Akhirnya, Perjanjian Sykes-Picot tetap menjadi bukti bagaimana kebijakan luar negeri pada satu periode dapat membentuk masa depan suatu kawasan dalam jangka panjang. Memahami sejarah ini penting untuk mencari solusi bagi konflik-konflik yang masih mengancam stabilitas Timur Tengah saat ini. Seiring berjalannya waktu, penilaian dan refleksi terhadap perjanjian tersebut akan terus berlanjut, sebagai upaya untuk menyembuhkan luka yang masih terasa.

Dengan demikian, studi mendalam mengenai Perjanjian Sykes-Picot adalah langkah penting untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas sejarah dan hubungan internasional yang membentang hingga saat ini.