Internasional

Gencatan Senjata Thailand-Kamboja Dimulai, Pemimpin Bertemu di Malaysia

Avatar photo
6
×

Gencatan Senjata Thailand-Kamboja Dimulai, Pemimpin Bertemu di Malaysia

Sebarkan artikel ini

Krisis Perbatasan: Thailand dan Kamboja Akan Gelar Pembicaraan Gencatan Senjata di Malaysia

Perdana Menteri Thailand sementara, Phumtham Wechayachai, dijadwalkan memimpin delegasi negaranya untuk melakukan pembicaraan gencatan senjata dengan Kamboja di Malaysia pada Senin, 28 Juli. Pertemuan ini menjadi langkah penting setelah ketegangan yang terjadi antara kedua negara di perbatasan, yang telah mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa.

Pertukaran tembakan yang dimulai pada 24 Juli lalu menandai eskalasi konflik yang telah berlangsung lama terkait sengketa wilayah. Pembicaraan ini akan berlangsung mulai pukul 15.00 waktu setempat, di mana Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, diperkirakan juga akan hadir. Malaysia, yang saat ini menjabat sebagai ketua ASEAN, telah menawarkan diri untuk menjadi mediator dalam konflik ini.

Konflik ini juga menarik perhatian internasional, termasuk intervensi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memberikan ultimatum kepada kedua negara untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata. Trump mengaitkan perlunya gencatan senjata ini dengan rencana negosiasi tarif impor yang akan dikenakan kepada Thailand dan Kamboja, yakni sebesar 36 persen yang mulai berlaku pada 1 Agustus mendatang.

Sejak konflik ini dimulai, baik Thailand maupun Kamboja telah mengerahkan artileri berat, yang tentunya meningkatkan kekhawatiran di kalangan masyarakat kedua negara. Bagi masyarakat, terutama di daerah perbatasan, peningkatan ketegangan ini berdampak langsung terhadap keamanan dan kestabilan ekonomi mereka. Banyak warga yang merasa was-was dan memilih untuk mengungsi, sementara aktivitas sehari-hari pun terganggu.

Latar belakang sengketa ini berkaitan dengan wilayah kuil yang memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi, yaitu Preah Vihear dan Prasat Ta Muen Thom. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 telah memutuskan kawasan Preah Vihear menjadi milik Kamboja, konflik terus berlanjut, terutama setelah Kamboja mengajukan pendaftaran kuil tersebut ke UNESCO. Status kepemilikan Prasat Ta Muen Thom juga masih menjadi perdebatan yang memicu ketegangan.

Dari sudut pandang masyarakat, konflik yang berkepanjangan ini tidak hanya menyebabkan kerugian materi dan nyawa, tetapi juga menghancurkan hubungan antarwarga masyarakat yang seharusnya berjalan harmonis. Masyarakat di kawasan perbatasan, yang tinggal berdekatan, kini terpaksa menahan diri dan berusaha mencari perlindungan dari serangan yang tak terduga, menciptakan atmosfer ketakutan dan ketidakpastian.

Dengan adanya rencana pembicaraan gencatan senjata ini, harapan mulai muncul di kalangan masyarakat agar ketegangan dapat mereda. Berbagai organisasi non-pemerintah dan penggiat perdamaian di kedua negara mendorong pemerintah untuk memprioritaskan dialog dan menyelesaikan masalah secara damai. Jika pembicaraan ini berjalan lancar, diharapkan dapat membuka jalan bagi stabilitas di kawasan, baik dari sisi politik maupun ekonomi.

Masyarakat Indonesia, sebagai bagian dari ASEAN, turut mengamati perkembangan ini dengan seksama, karena stabilitas di kawasan tidak hanya berdampak pada Thailand dan Kamboja, tetapi juga terhadap keamanan dan kesejahteraan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Dialog damai yang berhasil dapat menjadi contoh bagi penyelesaian konflik serupa di Asia Tenggara.