Berita

Lokataru Temukan 8 Kejanggalan dalam Penangkapan Delpedro Marhaen dan Rekan-rekan

Avatar photo
6
×

Lokataru Temukan 8 Kejanggalan dalam Penangkapan Delpedro Marhaen dan Rekan-rekan

Sebarkan artikel ini

Laporan Terkait Penangkapan Delpedro Marhaen: Lokataru Soroti Delapan Kelemahan Prosedural

Lokataru Foundation mengungkapkan delapan kejanggalan dalam penangkapan serta penetapan tersangka Delpedro Marhaen dan rekan-rekannya yang dianggap melanggar prinsip due process of law dan hak asasi manusia. Temuan ini disampaikan jelang putusan praperadilan terhadap mereka yang dituduh menghasut aksi unjuk rasa yang berujung ricuh pada Agustus lalu.

Manajer Penelitian dan Pengetahuan Lokataru, Hasnu, menjelaskan bahwa kejanggalan ini diidentifikasi melalui pemantauan bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil. “Kami menemukan sedikitnya delapan kesalahan prosedural yang dilakukan pihak termohon,” jelas Hasnu dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin, 27 Oktober 2025.

Proses Penangkapan yang Kontroversial

Kejanggalan pertama mencakup proses penangkapan yang dilakukan tanpa pemanggilan resmi. Delpedro dan kawan-kawannya tidak diberikan penjelasan mengenai tuduhan yang menjadi dasar penangkapan mereka, sebuah tindakan yang dinilai Hasnu sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. “Ini adalah penangkapan sewenang-wenang yang melanggar hukum acara pidana dan prinsip HAM,” ungkapnya.

Selain itu, hak-hak tersangka juga dinilai dilanggar selama proses praperadilan. Hasnu menyoroti bahwa pihak pemohon tidak pernah dihadirkan di ruang sidang, yang berimplikasi pada hak mereka untuk membela diri. “Praperadilan harus melindungi martabat manusia,” tuturnya.

Permintaan yang Diabaikan dan Ketidaksetaraan Akses Hukum

Meskipun tim hukum sudah mendesak agar Delpedro dan rekan-rekannya dihadirkan, permintaan tersebut tidak dipenuhi hingga sidang berakhir. “Idealnya, mereka harus hadir meskipun sudah memberikan kuasa kepada penasihat hukum,” papar Hasnu. Ia menambahkan, ketidakadilan ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam akses hukum antara pemohon dan termohon.

Independensi Hakim dan Penyalahgunaan Bukti

Hasnu memperingatkan potensi hilangnya independensi hakim akibat tekanan dari pihak tertentu. “Pengadilan mesti steril dari intervensi. Jika independensi goyah, keadilan bisa dikompromikan,” tegasnya. Selanjutnya, penggunaan keterangan seorang anak sebagai alat bukti juga dinilai tidak sah dan dipaksakan. “Hakim seharusnya membatalkan penetapan tersangka yang didasarkan pada bukti cacat,” ujarnya.

Penyalahgunaan Diskresi dan Penangkapan Tanpa Pemberitahuan

Kejanggalan ketujuh berkaitan dengan penggunaan diskresi yang dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Lokataru menilai penetapan tersangka tanpa melalui pemeriksaan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan. “Ini melawan hukum,” cetus Hasnu.

Terakhir, penangkapan Delpedro dan rekan-rekannya tanpa pemberitahuan kepada keluarga menjadi kejanggalan yang dinilai serius. “Ini adalah pelanggaran nyata terhadap prosedur penangkapan yang diatur oleh hukum,” tambahnya.

Kesimpulan dan Implikasi

Berdasarkan delapan temuan tersebut, Lokataru menekankan bahwa hakim memiliki alasan kuat untuk mengabulkan praperadilan. “Kasus ini lebih dari sekadar soal prosedur, tetapi juga tentang keberpihakan hukum pada keadilan dan kemanusiaan,” pungkas Hasnu.

Temuan dan kritik yang disampaikan Lokataru ini menggugah perhatian masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, perlu adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan keadilan procedural agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Pihak berwenang diharapkan dapat memperhatikan rekomendasi ini demi terwujudnya sistem hukum yang adil dan transparan.