Menangis Sebagai Terapi Emosional yang Positif untuk Kesehatan Mental
Menangis mungkin sering dianggap sebagai tanda kelemahan, namun para ahli menyatakan bahwa luapan emosi ini sebenarnya membawa manfaat besar bagi kesehatan mental. Menurut Serene Lee, seorang psikoterapis dan pendiri pusat konseling, menangis berfungsi sebagai mekanisme pembersihan emosi yang terpendam. Menyisakan waktu untuk menangis dapat membantu mengatasi tekanan dan stres yang dialami setiap individu.
Lee menjelaskan bahwa secara fisiologis, menangis melepaskan hormon stres seperti kortisol dan prolaktin melalui air mata. Hal ini berfungsi seperti katup pada panci presto yang mengeluarkan tekanan berlebih. “Menangis membantu kita merasa seimbang dan manusiawi. Setelah mengalaminya, seseorang bisa merasakan segarnya perasaan dan mampu menghadapi tantangan baru,” tuturnya.
Statistik menunjukkan perbedaan frekuensi menangis antara wanita dan pria. Wanita dilaporkan menangis antara 30 hingga 64 kali per tahun, sedangkan pria hanya lima hingga 17 kali. Dr. Alla Demutska, Direktur Klinis Psikoterapi dan Konseling di Sekolah Psikologi Positif, menyatakan bahwa perbedaan ini bukan hanya terletak pada faktor biologis, melainkan lebih kepada norma sosial yang berlaku.
Wanita, terutama dalam konteks profesional, sering kali merasa tertekan untuk menyembunyikan ekspresi emosi guna menghindari anggapan sebagai ‘terlalu emosional’ atau ‘tidak profesional’. Di sisi lain, pria diajarkan bahwa menangis dianggap sebagai suatu kelemahan, membuat mereka menahan emosi demi mempertahankan rasa kendali dan maskulinitas. Dr. Demutska menekankan bahwa menangis merupakan respons alami dan tidak seharusnya dipandang dari sudut kelemahan.
Namun, menangis bisa menjadi tidak sehat jika terjadi secara berlebihan dan mengganggu aktivitas sehari-hari atau hubungan sosial. Jika seseorang merasa terus-menerus ingin menangis tanpa alasan yang jelas, hal ini bisa jadi indikasi bahwa mereka memerlukan bantuan profesional. “Menangis tanpa mengetahui alasannya, berulang kali, mungkin mengindikasikan kesulitan memahami emosi atau pengalaman disosiatif,” ungkap Dr. Demutska.
Selain menangis, penting juga untuk mengembangkan cara lain dalam mengelola stres. Keterbatasan dalam mengatasi stres dapat mengganggu kesejahteraan mental secara keseluruhan. Terlalu jarang menangis, terutama di situasi yang seharusnya memunculkan emosi, juga patut dicermati. Hal ini dapat menunjukkan adanya mati rasa emosional atau penghindaran terhadap perasaan.
Dengan demikian, menangis dapat diartikan sebagai refleksi emosional yang penting, bukan sekadar reaksi mekanis. Tenaga profesional sangat dibutuhkan untuk membantu individu memahami dan mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang lebih sehat. Ini menggarisbawahi pentingnya memperhatikan kesehatan mental sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari.
Masyarakat dihimbau untuk lebih terbuka terhadap ekspresi emosi dan tidak menjadikan menangis sebagai hal yang memalukan, melainkan sebagai bagian dari perjalanan manusia untuk tetap sehat secara mental.









