KH Abdul Wahab Chasbullah: Pelopor Pergerakan Islam dan Kebangkitan Bangsa
SURABAYA – KH Abdul Wahab Chasbullah, sosok sentral di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), telah berperan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 31 Maret 1888, ia dikenal sebagai ulama reformis yang menggabungkan semangat kebangsaan dengan pemikiran keagamaan yang progresif.
Bersama dua rekannya, KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri, KH Wahab merupakan pemimpin yang mendorong lahirnya NU pada 31 Januari 1926. Organisasi ini tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan, tetapi juga sebagai benteng moral dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Dalam konteks lokal, NU berperan strategis dalam menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat, menghadapi tantangan zaman yang penuh ketidakpastian.
KH Wahab Chasbullah menempuh pendidikan di beberapa pesantren terkemuka, termasuk Pesantren Tebuireng yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari. Ia juga meraih ilmu di Makkah, berguru kepada ulama terkenal, sehingga menjadikannya salah satu pemikir terkemuka di Indonesia. Kontribusinya terhadap pendidikan Islam terlihat jelas ketika ia mendirikan forum Tashwirul Afkar pada 1914. Forum ini menjadi tempat diskusi lintas organisasi yang memunculkan ide-ide progresif dan moderat dalam masyarakat.
Inspirasi dari forum tersebut melahirkan Nahdlatul Wathan, yang didirikan pada 1916, sebagai cikal bakal NU. Dengan mendirikan NU, KH Wahab dan rekannya merumuskan struktur kepemimpinan yang inovatif, menjaga keseimbangan antara kalangan tua dan muda, serta mewujudkan organisasi yang inklusif.
Pentingnya KH Wahab dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa diremehkan. Ia menjadi salah satu inisiator Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang menyerukan umat Islam untuk berjihad dalam mempertahankan kemerdekaan. Setelah KH Hasyim wafat, KH Wahab diangkat sebagai Rais Aam NU dan memperkuat dukungan NU terhadap pemerintah dalam perang melawan agresi Belanda.
Selain pengaruhnya dalam NU, KH Wahab juga menginspirasi lahirnya Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) pada tahun 1924, yang memfasilitasi kaderisasi santri muda. Alasannya, nama “Ansor” diambil dari kaum Ansar di Madinah sebagai teladan perjuangan. Pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada 1934, GP Ansor resmi bergabung dalam struktur NU, menegaskan peran generasi muda dalam perkembangan keagamaan dan kebangsaan.
Keteladanan KH Wahab di bidang dakwah dan keilmuan menjadikannya sosok yang dihormati. Ia dikenal sebagai ulama yang humoris dan solutif. Dengan pendekatan pragmatis, beliau menunjukkan pentingnya harmonisasi antara fiqih dan realitas, sebuah nilai yang sangat relevan bagi masyarakat saat ini. KH Wahab wafat pada 29 Desember 1971 dan mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2014, sebagai penghargaan atas dedikasinya.
Warisan pemikiran KH Wahab Chasbullah membentuk landasan bagi generasi penerus untuk berpikir terbuka dan menjalankan perjuangan dengan semangat inklusif. Prinsipnya, “Apa yang tidak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan semuanya”, memberikan panduan bagi generasi muda dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan semangat tersebut, KH Wahab bukan hanya seorang pendiri organisasi, tetapi juga pionir yang menginspirasi pergerakan intelektual Islam di Nusantara hingga hari ini.









