Berita

Pertamina Rugi Rp 2,9 Triliun akibat Sewa Terminal BBM yang Tidak Diperlukan

Avatar photo
12
×

Pertamina Rugi Rp 2,9 Triliun akibat Sewa Terminal BBM yang Tidak Diperlukan

Sebarkan artikel ini

Pertamina Diduga Rugi Rp 2,9 Triliun atas Penyewaan Terminal BBM

Jakarta – PT Pertamina dikabarkan mengalami kerugian sebesar Rp 2,9 triliun akibat penyewaan terminal bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan selama periode 2012 hingga 2014. Tindakan tersebut terjadi meskipun perusahaan belum membutuhkan terminal BBM yang disewa dari PT Oiltanking Merak, yang diakusisi oleh PT Tangki Merak.

Dalam dakwaan yang dibacakan pada sidang 14 Oktober 2025, jaksa mengungkapkan bahwa pembayaran sewa tersebut berujung pada kerugian serius bagi keuangan negara. “Pembayaran sewa terminal BBM tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara selama periode tahun 2014-2024 sebesar Rp 2.905.420.003.854,00 yang seharusnya tidak dikeluarkan,” tegas jaksa.

Proses penyewaan terminal BBM ini melibatkan beberapa pihak, di mana Riza Chalid berperan sebagai jaminan kredit untuk akuisisi terminal tersebut. Meskipun pada saat kesepakatan dibuat, Riza dan rekan-rekannya, termasuk Kerry Ardianto dan Gading, tidak memiliki kepemilikan atas terminal tersebut, kerjasama tetap berlangsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan integritas proses pengadaan yang dilakukan oleh Pertamina.

Lebih dari itu, jaksa menyoroti bahwa kerja sama sewa terminal BBM dengan PT Oiltanking Merak tidak memenuhi kriteria pengadaan yang sah. “Sewa TBBM Merak bukan termasuk barang atau jasa yang dibutuhkan untuk kinerja Pertamina dan bukan merupakan barang atau jasa yang tidak dapat ditunda keberadaannya,” ungkap jaksa.

Tindakan ini menciptakan sebuah kerugian yang terstruktur, di mana permintaan untuk mempercepat proses sewa datang dari Riza, Kerry, dan Gading. Mereka mendesak Hanung, yang saat itu menjabat sebagai Vice President Supply dan Distribusi PT Pertamina, untuk segera melakukan penunjukan langsung kepada PT Oiltanking Merak.

Apa yang terjadi di sini mencerminkan tantangan serius di lingkungan perusahaan BUMN, terutama terkait dengan pengadaan dan pengelolaan aset. Implikasi dari dugaan korupsi ini tentu sangat terasa bagi masyarakat, mengingat Pertamina adalah perusahaan negara yang posisinya krusial dalam pengelolaan energi di Indonesia. Kerugian sebesar itu bukan hanya berdampak pada neraca keuangan perusahaan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai akuntabilitas dan transparansi di tubuh Pertamina.

Masyarakat Indonesia tentu berharap agar kasus ini mendapat penanganan hukum yang tegas untuk mencegah terulangnya praktik serupa di masa mendatang. Kepercayaan publik kepada BUMN harus dijaga, dan langkah-langkah transparansi serta akuntabilitas perlu ditingkatkan agar pengelolaan kekayaan negara bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

Sidang mengenai kasus ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan mendorong perbaikan dalam sistem pengadaan dan pengelolaan aset di seluruh perusahaan BUMN, menciptakan iklim bisnis yang lebih sehat dan transparan bagi stakeholder serta masyarakat luas.