Mempertanyakan Keadilan Pangan di Hari Pangan Sedunia
Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap 16 Oktober seharusnya menjadi momen refleksi bagi seluruh umat manusia. Makanan bukan sekadar barang mewah, melainkan hak asasi yang fundamental bagi kehidupan. Namun, kenyataan global menunjukkan paradoks yang mencolok: meski ada kelaparan kronis, jutaan ton makanan justru terbuang sia-sia.
Menurut data dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sekitar 673 juta orang di seluruh dunia masih terperangkap dalam kondisi kelaparan yang serius. Setiap empat detik, satu nyawa melayang akibat kekurangan nutrisi. Ironisnya, laporan dari UNEP mengungkapkan bahwa lebih dari satu miliar ton makanan dibuang setiap tahun, jumlah yang cukup untuk memberi makan populasi kelaparan sebanyak empat kali lipat.
Kesenjangan ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam cara kita memahami serta merespons masalah pangan. Krisis kelaparan bukan disebabkan oleh minimnya produksi, melainkan oleh ketidakadilan dalam distribusi dan akses. Ketimpangan ini merupakan cerminan dari isu sosial yang lebih besar, yaitu perpecahan dalam kepemilikan ekonomi dan moralitas kolektif kita sebagai manusia.
Dalam laporan terbaru, World Inequality Report menunjukkan bahwa lebih dari empat miliar orang hanya berbagi satu persen dari total kekayaan dunia, sementara 89 juta individu menguasai hampir setengahnya. Dalam konteks ini, gaya hidup konsumtif dan berlebihan bukan sekadar pilihan, melainkan bentuk pelanggaran terhadap hak dasar manusia.
Keberadaan publik figur yang memamerkan kemewahan di tengah krisis pangan menimbulkan ironi yang tajam. Di saat rakyat berjuang untuk mendapatkan makanan yang layak, keadilan sosial semakin tergerus. Menariknya, sebagian besar makanan yang terbuang berasal dari rumah tangga, menandakan bahwa masalah utama bukanlah kurangnya produksi, melainkan perilaku konsumsi yang tidak bertanggung jawab.
Contoh nyata dapat dilihat di Indonesia, di mana sekitar 14,73 juta ton makanan dibuang setiap tahun. Data dari FAO dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam jajaran negara dengan tingkat pemborosan makanan tertinggi di ASEAN. Di satu sisi, FAO melaporkan sebanyak 149 juta anak di dunia mengalami stunting akibat kekurangan gizi, sementara di sisi lain, makanan dibuang begitu saja karena dianggap berlebihan.
Penting bagi kita untuk menyadari bahwa makanan yang terbuang adalah sebuah pemborosan yang tak termaafkan. Setiap komponen dalam sistem pangan—produksi, distribusi, dan konsumi—memerlukan perhatian dan penanganan yang serius. Ketika kita mengizinkan ketidakadilan ini terus berlanjut, kita bukan hanya merugikan mereka yang kelaparan, tetapi juga meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya kita junjung bersama.
Pesan di Hari Pangan Sedunia kali ini seharusnya mendorong kita untuk berkata “cukup” terhadap pola konsumsi yang tidak bertanggung jawab. Keberanian untuk merubah cara kita memandang makanan dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. Mari kita mulai dengan menghargai makanan sebagai sebuah hak hidup, bukan sekadar komoditas.









