Nasional

66 Pekerja Migran Indonesia Dideportasi dari Malaysia Diduga Korban TPPO

Avatar photo
3
×

66 Pekerja Migran Indonesia Dideportasi dari Malaysia Diduga Korban TPPO

Sebarkan artikel ini

66 Pekerja Migran Indonesia yang Dideportasi dari Malaysia Terindikasi Jadi Korban TPPO

Sebanyak 66 dari 166 pekerja migran Indonesia yang baru saja dideportasi dari Malaysia terindikasi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Pelayanan, Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepulauan Riau, Imam Riyadi, saat ditemui di Shelter P4MI Kota Batam, Senin (8/9).

Imam menjelaskan bahwa indikasi tersebut terdeteksi setelah dilakukan pendataan oleh tim Gugus Tugas TPPO terhadap seluruh pekerja migran yang difasilitasi pemulangannya bersama Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru. “Hasil konseling dan pendataan menunjukkan bahwa 66 orang ini diberangkatkan secara ilegal melalui tekong dan perusahaan yang tidak sah,” ujar Imam.

Mayoritas dari pekerja migran yang terindikasi menjadi korban TPPO berasal dari Jawa Timur, sedangkan sisanya berasal dari Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Menyikapi temuan ini, BP3MI Kepri berkoordinasi dengan Subdit IV Gakkum PPA Direktorat Reskrimum Kepolisian Daerah Kepri untuk melakukan penanganan lebih lanjut. “Hari ini tim dari Subdit IV Gakkum PPA Ditreskrimum Polda Kepri telah hadir untuk menindaklanjuti kasus ini,” tambahnya.

Imam juga mengungkapkan bahwa ada perusahaan resmi maupun ilegal yang terlibat dalam pengiriman pekerja migran tersebut. Salah satu perusahaan yang terdaftar, yakni PT Bagus Bersaudara, sudah ditutup, namun masih ada pekerja yang diberangkatkan melalui agen tersebut. “Dampaknya, beberapa pekerja yang diutus melalui perusahaan ini mengalami masalah sehingga harus dideportasi,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Subdit IV Gakkum PPA Polda Kepri, Ajun Komisaris Besar Polisi Andika Aer, menyatakan bahwa mayoritas perusahaan yang memberangkatkan 66 pekerja migran itu beroperasi di luar Kepulauan Riau. “Kami telah mengidentifikasi 16 perusahaan atau agen yang terlibat dalam pengiriman pekerja migran yang menjadi korban TPPO ini, dan sebagian besar berlokasi di Lombok,” tuturnya.

Polisi Kepri juga telah melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian di Lombok untuk mencegah adanya pengiriman pekerja migran nonprosedural di masa mendatang. Andika Aer menegaskan bahwa pengiriman pekerja migran secara ilegal merupakan salah satu modus operandi TPPO yang marak terjadi di Indonesia. Para pelaku sering kali merupakan bagian dari jaringan sindikat besar.

Sebagian pekerja migran diketahui telah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk bisa bekerja di luar negeri. Salah satu pekerja mengaku membayar Rp24 juta untuk mendapatkan pekerjaan di Malaysia. Namun, setelah dua tahun bekerja, uang yang dikeluarkan belum juga kembali, dan kini mereka harus menghadapi deportasi akibat pelanggaran imigrasi.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya kesadaran akan bahaya perdagangan orang dan perlunya mematuhi prosedur resmi dalam pencarian kerja di luar negeri. BP3MI dan pihak kepolisian terus berupaya menangani kasus-kasus serupa agar tidak terulang di masa yang akan datang.